Rabu, 18 November 2020

AGROFORESTRY



AGROFORESTRY SEBAGAI ALTERNATIF PEMBANGUNAN LAHAN BERKELANJUTAN







I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara sebagai paru-paru dunia, karena wilayah Indonesia yang banyak memiliki pulau dan masih terdapat hutan yang cukup terjaga. Tetapi, eksploitasi hutan dan konversi lahan dalam skala massal saat ini telah berimbas kepada kerusakan lingkungan yang sangat parah. Kerusakan lingkungan yang menyebabkan perubahan iklim dunia, pemanasan global, bencana alam banjir, longsor, kekeringan yang datang silih berganti adalah fenomena turunan yang harus dirasakan umat manusia.
Berbagai usaha untuk memperbaiki lingkungan selalu terganjal oleh tuntutan ekonomi yang dirasa jauh lebih penting, karena menyangkut pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan. Ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan stabilitas ekonomi yang diiringi makin meroketnya harga-harga kebutuhan pokok masyarakat, adalah kenyataan pahit lainnya yang harus dihadapi dalam usaha pelestarian alam dan lingkungan.
Oleh karena itu, perlu adanya keseriusan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, agar kelestarian lingkungan dapat tercapai. Solusi yang ditawarkanpun harus dapat bersifat win-win solution, sehingga mampu mengakomodir antara kepentingan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan yang sama-sama krusialnya sehingga konsep “Hutan Lestari dan Masyarakat Sejahtera” dapat terwujud dalam arti yang sebenarnya. Salah satu solusi yang saat ini menjadi fokus pembicaraan adalah pola agroforestry (Agung Pambudi,2008) .

1.1. Pengertian Agroforestry
Konsepsi agroforestry dirintis oleh suatu tim dari Canadian International Development Centre, yang bertugas untuk mengindentifikasi prioritas-prioritas pembangunan di bidang kehutanan di negara-negara berkembang dalam tahun 1970-an. Oleh tim ini dilaporkan bahwa hutan-hutan dinegara tersebut belum cukup dimanfaatkan. Penelitian yang dilakukan dibidang kehutananpun sebagian besar hanya ditujukan kepada dua aspek produksi kayu, yaitu eksploitasi secara selektif di hutan alam dan tanaman hutan secara terbatas.
Menurut tim, kegiatan-kegiatan tersebut perlu dilanjutkan, namun perlu ada perhatian pula terhadap masalah-masalah yang selama ini diabaikan, yaitu sistem produksi kayu bersamaan dengan komoditi pertanian, dan /atau peternakan, serta merehabilitasi lahan-lahan kritis.

Dilain pihak ditemukan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada pengrusakan lingkungan, yang seakan-akan tidak dapat dikendalikanlagi. Kecenderungan pengrusakan lingkungan ini perlu dicegah dengan sungguh-sungguh, dengan cara pengelolaan lahan yang dapat mengawetkan lingkungan fisik secara efektif, tetapi sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan sandang bagi manusia.
Menurut International Council for Research in Agroforetry, mendefinisikan Agro forestry sebagai berikut :
" Suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanamaan (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yanag sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat". (King dan Chandler, 1978)
Agroforestry berhubungan dengan sistem penggunaan lahan di mana pohon ditumbuhkan berasosiasi dengan tanaman pertanian, makanan ternak atau padang pengembalaan. Asosiasi ini dapat dalam waktu, seperti rotasi antara pohon dan komponen lainnya, atau dalam dimensi ruang, dimana komponen tersebut ditumbuhkan bersama-sama pada lahan yang sama. Dalam sistem tersebut mempertimbangkan nilai ekologi dan ekonomi dalam interaksi antar pohon dan komponen lainnya. Hudges (2000) dan Koppelman dkk.,(1996) mendefinisikan Agroforestry sebagai bentuk menumbuhkan dengan sengaja dan mengelola pohon secara bersama-sama dengan tanaman pertanian dan atau makanan ternak dalam sistem yang bertujuan menjadi berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi. Secara sederhana adalah menanam pohon dalam sistem pertanian.
Sistem agroforestry dapat dikelompokkan menurut struktur dan fungsi, sebagaimana agroekologi dan adaptasi lingkungan, sifat sosio ekonomi, aspek budaya dan kebiasaan (adat), dan cara pengelolaannya. Ada beberapa cara klasifikasi agroforestry diantaranya : berdasarkan kombinasi komponen pohon, tanaman, padang rumput/makanan ternak dan komponen lain yang ditemukan dalam agroforestry (King, 1978; Koppelman dkk., 1996 ) :
a. Agrosilviculture : Campuran tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara sadar untuk memproduksi hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
b. Silvopastoral : Padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil kayu dan sekaligus memelihara ternak.
c. Agrosilvopastoral : tanaman, padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak.
d. Sistem lain , yang meliputi :
  • Silvofishery : pohon dan ikan
  • Apiculture : pohon dan lebah
  • Sericulture : pohon dan ulat sutera
Young (1997) mengkelaskan agroforestry seperti pada Tabel 1. Hudge (2000) menyatakan ada lima model utama penerapan agroforestry khususnya di daerah temperate yaitu : Alley crooping, silvopasture, riparian forest buffer, windbreaks dan forest farming.
Berdasarkan fungsi dari pohon, sistem agroforestry mempunyai fungsi utama sebagai produksi atau konservasi. Fungsi produktif meliputi : makanan, pakan ternak, bahan bakar, karet, obat dan uang. Fungsi konservasi atau pencegahan meliputi : perbaikan tanah, pelindung dan nilai spiritual. Berdasarkan kesesuaian waktu, sistem agroforestry secara temporal (ladang berpindah, atau lebih menetap, dalam kasus pengelolaan rumah kebun yang intensif). Berdasarkan pola pohon apakah pohon dalam sistem agroforestry dikelola dengan suatu pola yang teratur (bila ditanaman menurut jarak yang tetap, atau dalam sebaran yang tidak teratur)
Agroforestri telah banyak menarik perhatian peneliti-peneliti teknis dan sosial yang mempelajari pentingnya pengetahuan dasar pengkombinasian antara pepohonan dengan tanaman tidak berkayu pada lahan yang sama, serta segala keuntungan dan kendalanya. Penyebaran ilmu agroforestry diharapkan dapat bermanfaat dalam mencegah perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumber daya hutan, meningkatkan mutu pertanian, serta meningkatkan kesejahteraan petani.
Pola Agroforestry 
Memperhatikan kondisi areal yang dipilih dan kondisi sosial ekonomi masyarakat serta mengacu kepada bentuk/model Agroforestry pola tanam yang diterapkan secara garis besar adalah sebagai berikut :
a.       Tanaman Pokok ; berupa tanaman kehutanan yang merupakan prioritas utama tanaman yang ditujukan sebagai produksi kayu dengan penentuan daur tebang selama 5 tahun. Jenis tanaman yang dipilih yaitu jenis sengon (Faraserianthes falcataria). 
b.       Tanaman Semusim (Tahap I); merupakan tanaman pertanian yang berotasi pendek, ditanam diantara tanaman pokok dengan jarak minimal 30 cm dari batang tanaman pokok. Waktu penanaman dilaksanakan pada tahun pertama/ sebelum tanaman pokok berusia satu tahun, jenis tanaman yang dipilih kacang tanah.
c.       Tanaman semusim (Tahap II) ; dipilih tanaman pertanian berotasi pendek yang dapat tumbuh dengan/tanpa naungan, ditanam setelah panen tanaman semusim tahap pertama (kacang tanah) sampai batas waktu tanaman pokok berumur dua tahun. Jenis tanaman yang dipilih adalah jahe Gajah.
d.       Tanaman Keras ; merupakan tanaman pertanian yang berotasi panjang /tanaman perkebunan yang dapat hidup dibawah naungan dan bukan sebagai pesaing bagi tanaman pokok dalam memperoleh cahaya . Ditanaman setelah tanaman pokok berurmur 2 tahun, menempati lahan diantara tanaman pokok, tujuan penanaman untuk untuk memperoleh hasil buah (non kayu). Jenis yang terpilih adalah tanaman kopi .
Tujuan pengembangan Agroforestry antara lain :
a.       Pemanfaatan lahan secara optimal yang ditujukan kepada produksi hasil tanaman berupa kayu dan non kayu secara berurutan dan/atau bersamaan.
b.       Pembangunan hutan secara multi funfsi dengan melibatkan peran serta masyarakat secara aktif.
c.        Meningkatkan pendapatan petani/penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan meningkatnya kepedulian warga masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya guna mendukung proses pemantapan ketahan pangan masyarakat. 
d.       Terbinanya kualitas daya dukung lingkungan bagi kepentingan masyarakat luas.

II. INTERAKSI BIOFISIK DALAM SISTEM AGROFORESTRY
Interaksi antara komponen kayu dan non-kayu (annual crop) merupakan kunci suksesnya dalam pengembangan semua sistem agroforestri (Rao dkk., 1998). Karena itu sangat penting untuk memahaminya dalammemperbaiki sistem tradisional yang telah lama diterapkan dalam agroforestri. Interaksi biofisik dapat dikelompokkan dalam hal yang berhubungan dengan kesuburan tanah (meliputi kimia tanah, fisika tanah, dan biologi tanah), persainga (meliputi interaksi persaingan air tanah, hara, dan radiasi), mikroklimat, hama dan penyakit tanama) konservasi tanah dan dan allelopati (Tabel 6).
2.1. Prinsip Pengambilan Dan Pemanfaatan Cahaya Dan Air
Tumbuhan dan hewan yang berbeda memiliki kebutuhan akan cahaya, suhu dan air dan kelembaban yang berbedapula. Ada yang mebutuhkan banyak sinar matahari ada yang sedikit dan menyukai naungan. Konsep-konsep ini dapat diterapkan dalam agroforestri dalam hal memodifikasi iklim mikro.
Komponen dalam tumpangsari atau agroforestri sering berbeda sekali dalam ukuran, dimana tanaman yang berukuran kecil sering terhambat pertumbuhannya karena pengaruh naungan dan juga karena persaingan akan hara dan air. Persaingan akan cahya merupakan faktor pembatas utama bila air dan hara tersedia cukup. Tapi di daerah tropik air dan hara (masam, tercuci dan tanah terdegradasi) lebih utama dibandingkan dengan faktor cahaya. Persaingan tersebut bila msampai menjadi faktor pembatas akan berpengaruh terhadap produksi biomassa baik berupa shoot maupun root.
Millet-groundnut intercropping, leucaena (C3 legume) dipangkas pada ketinggian 0,65-0,70 m sebelum tanam dan dipertahankan pada ketingian yang sama sebagai C4, pear millet sepanjang musim. Ada bukti bahwa e meningkat dalam sistem agroforestri, tapi tidak cukup untuk mengimbangi penurunan akibat kekurangan cahaya oleh pearl millet sebagai akibat persaingan dari leucaena. Masalah tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap tanaman pohon yang menghasilkan buah (Kesler, 1992 dalam Ong and Huxley, 1996). Beberapa contoh lainnya seperti tumpangsari jagung-pigeonpea, millet-groundnut, dan pigeonpea-groundnut yang menunjukkan tanaman yang tumbuh pertama akan menghambat perkembangan kanopi yang lainnya dengan cepat.
Seperti pada penangkapan cahaya, intercropping dan khususnya sistem agroforestri memberikan peluang untuk menerapkan sistem secara spasial atau temporal dalam persaingan terhadap penggunaan air, yang berdampak terhadap ketersediaan air bagi tanaman. Tetapi peluang untuk sdaling melengkapi antar spesies yang berbeda responnya dalam pola kaopi dan perakaran; pembentukan akar tergantung juga pada keadaan tanah. Beberapa pengalaman lapangan menyarankan bahwa total penggunaan air berbeda tergantung pada jenis tanaman. Walaupun total penggunaan air oleh intercrop (585 mm) jauh melebihi sorgum (434 mm), tidak menunjukkan sisa lebih lama selama penanaman sole pigeonpea (584mm). Dalam penelitian yang sama , Reddy dan Willey (1981) menunjukkan bahwa penggunaan air oleh pearl intercrop millet – groundnut sebesar 10 % lebih besar pada groundnut dan 34 % lebih besar pada sole millet; suatu faktor utama yang tampak adalah leaf area index (indek luas daun/ILD) melebihi 2 selama sekitar 20 hari dalam 82 hari tanaman sole millet, tapi selama 50 hari dalam 105 hari intercrop. Untuk rasio penggunaan air untuk tanaman cereal C4 tropika umumnya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan taman C3 pada kondis yang baik. Sebagai contoh nilai ew untuk jagung dan sorgum 2 kali lebih besar dibandingkan dengan pada spesies tanaman C3 (Angus dkk., 1983), dan sama dengan dengan ew antara pearl millet dan groundnut (Squire, 1990). Pada kondisi tekanan air yang sama (mean saturation defisit 2-2.5 kPa), musim yangbpanjang ew 3,9 dan 4.6 gr kg-1 untuk millet dan 1.5, 1.9, dan 2 gr kg –1 untuk groundnut. Tapi untuk spesies C4 tidak selalu mempunyai rasio penggunaan air yang lebih tinggi dari pada tanaman C3, karena nilai yang sama dilaporkan untuk tanaman C3 yang toleran kekeringan seperti cowpea dan cotton dan tanaman C4 yang sensitif kekeringan sperti jagung dan sorgum (Rees, 1986b).
2.2. Modifikasi Iklim Mikro Dalam Agroforestry
Pengaruh yang paling penting penggabungan tanaman berkayu dan tanaman tidak berkayu akan menghasilkan perubahan mikroklimat yang berpengaruh terhadap sistem komponen pertumbuhan tanaman. Untuk memahami modifikasi iklim mikroklimat yang terjadi dalam sistem agroforestri berhubungan dengan radiasi, angin, kelembaban dan temperatur. Perubahan mikroklimat tersebut akan mempengaruhi evapotranspirasi dan pertumbuhan tanaman. Cahaya matahari yang bermanfaat dalam proses fotosintesis Q (0.4-0.7 um). Sinar matahari yang diserap oleh permukaan non-transmited adalah S(1 – a ) dimana a merupakan reflektan atau albedo. Sangat sedikit informasi yang tersdia tentang albedo dalam sistem agroforestri, tapi ada informasi untuk permukaan yang analog dengan sistem agroforestri.
Eneri yang diserap daun tanaman atau agroforestri (net radiation, Rn) dapat dihitung sebagai perimbangan radiasi gelombang panjang dan gelombang pendek : Rn= S(1 – a ) + R1.d-R1.u, dimana Ri.d radiasi gelombang panjang yang diserap permukaan dan R1.u adalah radiasi gelombang panjang yang dipantulkan oleh permukaan. Fluxes radiasi gelombang panjang biasanya antara 300-400 W m-2 relatif konstan, dimana Rn siang sangat dipengaruhi besarnya S. Dibawah langit yang cerah R1.d-R11.u sekitar –100 W, hal inimmenyebabkan malam lebih dingin dari siang. HA menrupakan sebab langit lebih dingin dari permukaan tanah dan vegetasi, tapi dibawah kanopi hutan fluxe radiasi gelombang panjang hampir sama antara yang masuk dan keluar sehingga teras lebih dingin. Hal ini menjelaskan kenapa lebih dingin dibawah pohon dari pada daraeh terbuka dan dapat menjadi hal penting sebagai fungsi naungan pada tanaman kopi, teh atau modifikasi bnetuk lain dalam penerapan agroforestri.
Angin dalam agroforestri berhubungan dengan kerusakan, peran dalam membantu evapotraspirasi, suhu udara dan membantu dalam penyerbukan. Sebagai dampak negatif dari angin dapat diatasi dengan membuat penahan atau pemecah angi (Hudge, 2000). Pemecah angin tanaman dan ternak dari angin yang kuat, mengurangi erosi angin, memperbaiki efisiensi irigasi.
Area yang dicegah dan efektivitas ditentukan oleh komposisi, kepadatan, jaak,lebar, arah dan kontinuitas. Biasanya kecepatan angin akan dikurangi pada windward mencapai jarak 2 samapi 5 kali tinggi baris tanaman tertinggi. Sedangkan pada leeward mencapat 10-20 kali tinggi pohon. Luasnya naungan oleh pohon tergantung lebar kanopi, luas daun, sudut daun, karaktersitik transmisi dan reflektan kanopi (Ong dan huxley, 1996). Hal ini akan mempengaruhi konduktan stomata, evaporasi dan transpirasi.
Untuk itu ke depan dalam mengembangkan suatu pola Agroforestry diharapkan memperhatikan prospek pasar, karena hal ini akan memberikan pengaruh yang besar sekali terhadap respon petani dalam menerapkan atau mengadopsi Agroforestry. Terutama yang dihadapi petani dalam pemasaran produk agroforestri antara lain :
  • kurangnya infra struktur
  • terbatasnya volume produksi karena ukuran usaha yang kecil dan sistem produksi yang masih subsistem
  • kurangnya informasi tentang jumlah persediaan dan harga terbaru
  • kurangnya teknologi paska panen untuk tanaman cash crop seperti coklat dan vanilli.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar