AGROFORESTRY SEBAGAI ALTERNATIF
PEMBANGUNAN LAHAN BERKELANJUTAN
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara
sebagai paru-paru dunia, karena wilayah Indonesia yang banyak memiliki pulau
dan masih terdapat hutan yang cukup terjaga. Tetapi, eksploitasi hutan dan
konversi lahan dalam skala massal saat ini telah berimbas kepada kerusakan
lingkungan yang sangat parah. Kerusakan lingkungan yang menyebabkan perubahan iklim
dunia, pemanasan global, bencana alam banjir, longsor, kekeringan yang datang
silih berganti adalah fenomena turunan yang harus dirasakan umat manusia.
Berbagai usaha untuk
memperbaiki lingkungan selalu terganjal oleh tuntutan ekonomi yang dirasa jauh
lebih penting, karena menyangkut pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan.
Ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan stabilitas ekonomi yang diiringi
makin meroketnya harga-harga kebutuhan pokok masyarakat, adalah kenyataan pahit
lainnya yang harus dihadapi dalam usaha pelestarian alam dan lingkungan.
Oleh karena itu, perlu adanya keseriusan untuk memperbaiki kerusakan
lingkungan, agar kelestarian lingkungan dapat tercapai. Solusi yang
ditawarkanpun harus dapat bersifat win-win solution, sehingga mampu
mengakomodir antara kepentingan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan konservasi
sumberdaya alam dan lingkungan yang sama-sama krusialnya sehingga konsep “Hutan
Lestari dan Masyarakat Sejahtera” dapat terwujud dalam arti yang sebenarnya.
Salah satu solusi yang saat ini menjadi fokus pembicaraan adalah pola
agroforestry (Agung Pambudi,2008) .
1.1. Pengertian
Agroforestry
Konsepsi agroforestry
dirintis oleh suatu tim dari Canadian International Development Centre, yang
bertugas untuk mengindentifikasi prioritas-prioritas pembangunan di bidang
kehutanan di negara-negara berkembang dalam tahun 1970-an. Oleh tim ini
dilaporkan bahwa hutan-hutan dinegara tersebut belum cukup dimanfaatkan.
Penelitian yang dilakukan dibidang kehutananpun sebagian besar hanya ditujukan
kepada dua aspek produksi kayu, yaitu eksploitasi secara selektif di hutan alam
dan tanaman hutan secara terbatas.
Menurut tim, kegiatan-kegiatan tersebut perlu dilanjutkan, namun perlu ada
perhatian pula terhadap masalah-masalah yang selama ini diabaikan, yaitu sistem
produksi kayu bersamaan dengan komoditi pertanian, dan /atau peternakan, serta
merehabilitasi lahan-lahan kritis.
Dilain pihak ditemukan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada pengrusakan
lingkungan, yang seakan-akan tidak dapat dikendalikanlagi. Kecenderungan
pengrusakan lingkungan ini perlu dicegah dengan sungguh-sungguh, dengan cara
pengelolaan lahan yang dapat mengawetkan lingkungan fisik secara efektif,
tetapi sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan sandang bagi
manusia.
Menurut International Council for Research in Agroforetry, mendefinisikan Agro
forestry sebagai berikut :
" Suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang
meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanamaan
(termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan secara
bersamaan atau berurutan pada unit lahan yanag sama, dan menerapkan cara-cara
pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat". (King dan
Chandler, 1978)
Agroforestry berhubungan dengan sistem penggunaan lahan di mana pohon
ditumbuhkan berasosiasi dengan tanaman pertanian, makanan ternak atau padang
pengembalaan. Asosiasi ini dapat dalam waktu, seperti rotasi antara pohon dan
komponen lainnya, atau dalam dimensi ruang, dimana komponen tersebut
ditumbuhkan bersama-sama pada lahan yang sama. Dalam sistem tersebut
mempertimbangkan nilai ekologi dan ekonomi dalam interaksi antar pohon dan
komponen lainnya. Hudges (2000) dan Koppelman dkk.,(1996) mendefinisikan
Agroforestry sebagai bentuk menumbuhkan dengan sengaja dan mengelola pohon
secara bersama-sama dengan tanaman pertanian dan atau makanan ternak dalam
sistem yang bertujuan menjadi berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi.
Secara sederhana adalah menanam pohon dalam sistem pertanian.
Sistem agroforestry dapat
dikelompokkan menurut struktur dan fungsi, sebagaimana agroekologi dan adaptasi
lingkungan, sifat sosio ekonomi, aspek budaya dan kebiasaan (adat), dan cara
pengelolaannya. Ada beberapa cara klasifikasi agroforestry diantaranya :
berdasarkan kombinasi komponen pohon, tanaman, padang rumput/makanan ternak dan
komponen lain yang ditemukan dalam agroforestry (King, 1978; Koppelman dkk.,
1996 ) :
a. Agrosilviculture :
Campuran tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara sadar untuk
memproduksi hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
b. Silvopastoral : Padang
rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi
hasil kayu dan sekaligus memelihara ternak.
c. Agrosilvopastoral :
tanaman, padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan untuk
memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus
memelihara hewan ternak.
d. Sistem lain , yang
meliputi :
- Silvofishery : pohon dan
ikan
- Apiculture : pohon dan
lebah
- Sericulture : pohon dan
ulat sutera
Young (1997) mengkelaskan
agroforestry seperti pada Tabel 1. Hudge (2000) menyatakan ada lima model utama
penerapan agroforestry khususnya di daerah temperate yaitu : Alley crooping,
silvopasture, riparian forest buffer, windbreaks dan forest farming.
Berdasarkan fungsi dari
pohon, sistem agroforestry mempunyai fungsi utama sebagai produksi atau
konservasi. Fungsi produktif meliputi : makanan, pakan ternak, bahan bakar,
karet, obat dan uang. Fungsi konservasi atau pencegahan meliputi : perbaikan
tanah, pelindung dan nilai spiritual. Berdasarkan kesesuaian waktu, sistem
agroforestry secara temporal (ladang berpindah, atau lebih menetap, dalam kasus
pengelolaan rumah kebun yang intensif). Berdasarkan pola pohon apakah pohon dalam
sistem agroforestry dikelola dengan suatu pola yang teratur (bila ditanaman
menurut jarak yang tetap, atau dalam sebaran yang tidak teratur)
Agroforestri telah banyak
menarik perhatian peneliti-peneliti teknis dan sosial yang mempelajari
pentingnya pengetahuan dasar pengkombinasian antara pepohonan dengan tanaman
tidak berkayu pada lahan yang sama, serta segala keuntungan dan kendalanya.
Penyebaran ilmu agroforestry diharapkan dapat bermanfaat dalam mencegah
perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumber daya hutan, meningkatkan mutu
pertanian, serta meningkatkan kesejahteraan petani.
Pola
Agroforestry
Memperhatikan kondisi areal
yang dipilih dan kondisi sosial ekonomi masyarakat serta mengacu kepada
bentuk/model Agroforestry pola tanam yang diterapkan secara garis besar adalah
sebagai berikut :
a.
Tanaman Pokok ; berupa tanaman
kehutanan yang merupakan prioritas utama tanaman yang ditujukan sebagai
produksi kayu dengan penentuan daur tebang selama 5 tahun. Jenis tanaman yang
dipilih yaitu jenis sengon (Faraserianthes falcataria).
b. Tanaman Semusim (Tahap I);
merupakan tanaman pertanian yang berotasi pendek, ditanam diantara tanaman
pokok dengan jarak minimal 30 cm dari batang tanaman pokok. Waktu penanaman
dilaksanakan pada tahun pertama/ sebelum tanaman pokok berusia satu tahun,
jenis tanaman yang dipilih kacang tanah.
c. Tanaman semusim (Tahap II) ; dipilih tanaman pertanian berotasi pendek
yang dapat tumbuh dengan/tanpa naungan, ditanam setelah panen tanaman semusim
tahap pertama (kacang tanah) sampai batas waktu tanaman pokok berumur dua
tahun. Jenis tanaman yang dipilih adalah jahe Gajah.
d. Tanaman Keras ; merupakan
tanaman pertanian yang berotasi panjang /tanaman perkebunan yang dapat hidup
dibawah naungan dan bukan sebagai pesaing bagi tanaman pokok dalam memperoleh
cahaya . Ditanaman setelah tanaman pokok berurmur 2 tahun, menempati lahan
diantara tanaman pokok, tujuan penanaman untuk untuk memperoleh hasil buah (non
kayu). Jenis yang terpilih adalah tanaman kopi .
Tujuan pengembangan
Agroforestry antara lain :
a.
Pemanfaatan lahan secara optimal
yang ditujukan kepada produksi hasil tanaman berupa kayu dan non kayu secara
berurutan dan/atau bersamaan.
b.
Pembangunan hutan secara multi funfsi dengan
melibatkan peran serta masyarakat secara aktif.
c.
Meningkatkan pendapatan petani/penduduk miskin
dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan meningkatnya kepedulian warga
masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di
lingkungannya guna mendukung proses pemantapan ketahan pangan masyarakat.
d.
Terbinanya kualitas daya dukung lingkungan
bagi kepentingan masyarakat luas.
II. INTERAKSI
BIOFISIK DALAM SISTEM AGROFORESTRY
Interaksi antara komponen
kayu dan non-kayu (annual crop) merupakan kunci suksesnya dalam pengembangan
semua sistem agroforestri (Rao dkk., 1998). Karena itu sangat penting untuk
memahaminya dalammemperbaiki sistem tradisional yang telah lama diterapkan
dalam agroforestri. Interaksi biofisik dapat dikelompokkan dalam hal yang
berhubungan dengan kesuburan tanah (meliputi kimia tanah, fisika tanah, dan
biologi tanah), persainga (meliputi interaksi persaingan air tanah, hara, dan
radiasi), mikroklimat, hama dan penyakit tanama) konservasi tanah dan dan
allelopati (Tabel 6).
2.1. Prinsip
Pengambilan Dan Pemanfaatan Cahaya Dan Air
Tumbuhan dan hewan yang
berbeda memiliki kebutuhan akan cahaya, suhu dan air dan kelembaban yang
berbedapula. Ada yang mebutuhkan banyak sinar matahari ada yang sedikit dan
menyukai naungan. Konsep-konsep ini dapat diterapkan dalam agroforestri dalam
hal memodifikasi iklim mikro.
Komponen dalam tumpangsari
atau agroforestri sering berbeda sekali dalam ukuran, dimana tanaman yang
berukuran kecil sering terhambat pertumbuhannya karena pengaruh naungan dan
juga karena persaingan akan hara dan air. Persaingan akan cahya merupakan
faktor pembatas utama bila air dan hara tersedia cukup. Tapi di daerah tropik
air dan hara (masam, tercuci dan tanah terdegradasi) lebih utama dibandingkan
dengan faktor cahaya. Persaingan tersebut bila msampai menjadi faktor pembatas
akan berpengaruh terhadap produksi biomassa baik berupa shoot maupun root.
Millet-groundnut
intercropping, leucaena (C3 legume) dipangkas pada ketinggian 0,65-0,70 m
sebelum tanam dan dipertahankan pada ketingian yang sama sebagai C4, pear
millet sepanjang musim. Ada bukti bahwa e meningkat dalam sistem agroforestri,
tapi tidak cukup untuk mengimbangi penurunan akibat kekurangan cahaya oleh
pearl millet sebagai akibat persaingan dari leucaena. Masalah tersebut tidak
begitu berpengaruh terhadap tanaman pohon yang menghasilkan buah (Kesler, 1992
dalam Ong and Huxley, 1996). Beberapa contoh lainnya seperti tumpangsari
jagung-pigeonpea, millet-groundnut, dan pigeonpea-groundnut yang menunjukkan
tanaman yang tumbuh pertama akan menghambat perkembangan kanopi yang lainnya
dengan cepat.
Seperti pada penangkapan
cahaya, intercropping dan khususnya sistem agroforestri memberikan peluang
untuk menerapkan sistem secara spasial atau temporal dalam persaingan terhadap
penggunaan air, yang berdampak terhadap ketersediaan air bagi tanaman. Tetapi
peluang untuk sdaling melengkapi antar spesies yang berbeda responnya dalam
pola kaopi dan perakaran; pembentukan akar tergantung juga pada keadaan tanah.
Beberapa pengalaman lapangan menyarankan bahwa total penggunaan air berbeda
tergantung pada jenis tanaman. Walaupun total penggunaan air oleh intercrop
(585 mm) jauh melebihi sorgum (434 mm), tidak menunjukkan sisa lebih lama
selama penanaman sole pigeonpea (584mm). Dalam penelitian yang sama , Reddy dan
Willey (1981) menunjukkan bahwa penggunaan air oleh pearl intercrop millet –
groundnut sebesar 10 % lebih besar pada groundnut dan 34 % lebih besar pada
sole millet; suatu faktor utama yang tampak adalah leaf area index (indek luas
daun/ILD) melebihi 2 selama sekitar 20 hari dalam 82 hari tanaman sole millet,
tapi selama 50 hari dalam 105 hari intercrop. Untuk rasio penggunaan air untuk
tanaman cereal C4 tropika umumnya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan
taman C3 pada kondis yang baik. Sebagai contoh nilai ew untuk jagung dan sorgum
2 kali lebih besar dibandingkan dengan pada spesies tanaman C3 (Angus dkk., 1983),
dan sama dengan dengan ew antara pearl millet dan groundnut (Squire, 1990).
Pada kondisi tekanan air yang sama (mean saturation defisit 2-2.5 kPa), musim
yangbpanjang ew 3,9 dan 4.6 gr kg-1 untuk millet dan 1.5, 1.9, dan 2 gr kg –1
untuk groundnut. Tapi untuk spesies C4 tidak selalu mempunyai rasio penggunaan
air yang lebih tinggi dari pada tanaman C3, karena nilai yang sama dilaporkan
untuk tanaman C3 yang toleran kekeringan seperti cowpea dan cotton dan tanaman
C4 yang sensitif kekeringan sperti jagung dan sorgum (Rees, 1986b).
2.2. Modifikasi
Iklim Mikro Dalam Agroforestry
Pengaruh yang paling penting
penggabungan tanaman berkayu dan tanaman tidak berkayu akan menghasilkan
perubahan mikroklimat yang berpengaruh terhadap sistem komponen pertumbuhan
tanaman. Untuk memahami modifikasi iklim mikroklimat yang terjadi dalam sistem
agroforestri berhubungan dengan radiasi, angin, kelembaban dan temperatur.
Perubahan mikroklimat tersebut akan mempengaruhi evapotranspirasi dan
pertumbuhan tanaman. Cahaya matahari yang bermanfaat dalam proses fotosintesis
Q (0.4-0.7 um). Sinar matahari yang diserap oleh permukaan non-transmited
adalah S(1 – a ) dimana a merupakan reflektan atau albedo. Sangat sedikit
informasi yang tersdia tentang albedo dalam sistem agroforestri, tapi ada
informasi untuk permukaan yang analog dengan sistem agroforestri.
Eneri yang diserap daun
tanaman atau agroforestri (net radiation, Rn) dapat dihitung sebagai
perimbangan radiasi gelombang panjang dan gelombang pendek : Rn= S(1 – a ) +
R1.d-R1.u, dimana Ri.d radiasi gelombang panjang yang diserap permukaan dan
R1.u adalah radiasi gelombang panjang yang dipantulkan oleh permukaan. Fluxes
radiasi gelombang panjang biasanya antara 300-400 W m-2 relatif konstan, dimana
Rn siang sangat dipengaruhi besarnya S. Dibawah langit yang cerah R1.d-R11.u
sekitar –100 W, hal inimmenyebabkan malam lebih dingin dari siang. HA
menrupakan sebab langit lebih dingin dari permukaan tanah dan vegetasi, tapi
dibawah kanopi hutan fluxe radiasi gelombang panjang hampir sama antara yang
masuk dan keluar sehingga teras lebih dingin. Hal ini menjelaskan kenapa lebih
dingin dibawah pohon dari pada daraeh terbuka dan dapat menjadi hal penting
sebagai fungsi naungan pada tanaman kopi, teh atau modifikasi bnetuk lain dalam
penerapan agroforestri.
Angin dalam agroforestri
berhubungan dengan kerusakan, peran dalam membantu evapotraspirasi, suhu udara
dan membantu dalam penyerbukan. Sebagai dampak negatif dari angin dapat diatasi
dengan membuat penahan atau pemecah angi (Hudge, 2000). Pemecah angin tanaman
dan ternak dari angin yang kuat, mengurangi erosi angin, memperbaiki efisiensi
irigasi.
Area yang dicegah dan
efektivitas ditentukan oleh komposisi, kepadatan, jaak,lebar, arah dan
kontinuitas. Biasanya kecepatan angin akan dikurangi pada windward mencapai
jarak 2 samapi 5 kali tinggi baris tanaman tertinggi. Sedangkan pada leeward
mencapat 10-20 kali tinggi pohon. Luasnya naungan oleh pohon tergantung lebar
kanopi, luas daun, sudut daun, karaktersitik transmisi dan reflektan kanopi (Ong
dan huxley, 1996). Hal ini akan mempengaruhi konduktan stomata, evaporasi dan
transpirasi.
Untuk itu ke depan dalam
mengembangkan suatu pola Agroforestry diharapkan memperhatikan prospek pasar,
karena hal ini akan memberikan pengaruh yang besar sekali terhadap respon
petani dalam menerapkan atau mengadopsi Agroforestry. Terutama yang dihadapi
petani dalam pemasaran produk agroforestri antara lain :
- kurangnya infra struktur
- terbatasnya volume
produksi karena ukuran usaha yang kecil dan sistem produksi yang masih
subsistem
- kurangnya informasi
tentang jumlah persediaan dan harga terbaru
- kurangnya teknologi
paska panen untuk tanaman cash crop seperti coklat dan vanilli.